Kamis, 08 Oktober 2009

Ngobrol ngalor-ngidul ala bis ekonomi

Beberapa hari yang lalu, saya pulang ke Ngawi naik bis ekonomi Sumber Kencono.
Nah, saat itulah saya ketemu sama dia.
Saya duduk di seat 2 agak ke belakang gitu, dan di samping saya udah ada seorang laki-laki usia sekitar 25tahunan, kulit putih, badan tinggi dan atletis, mapan, mendambakan wanita single yang mapan dan... eh, maaph, salah ketik. Itu tadi peserta Take Him Out ya? hehhehehehee...
Oke, back to the topic, saya duduk di sebelah seorang laki-laki dengan ciri-ciri seperti yang saya sebutkan tadi. Orangnya sih kalo menurut saya...lumayan cakep yah...
Nah, inilah petikan obrolan saya dengan dia...
"
Dia: wah, panas banget ya.
Saya: iya, jam segini emang panas, penuh pisan (pas itu emang sekitar jam 3 siang).
Dia: mau turun mana?
Saya: Ngawi. Bapak?
Dia: Mau pulang ke Jogja.
Saya: oh, rumahnya di Jogja toh.
Dia: iya. adek masih sekolah ya? sma atau smp...?
Saya: sma (kalo pun saya bohong dan bilang saya masih smp, paling banyak yang percaya).
Dia: lho, jauh juga ya sekolahnya. ngekost?
Saya: iya. Bapak sendiri darimana?
Dia: dari Kediri. Saya kerja di Kediri.
Saya: kerja di apa?
Dia: perkebunan.
Saya: owh...
Dia: kelas berapa?
Saya: kelas 3.
Dia: wah, mau lulus dong, besok mau ambil jurusan apa?
Saya: ya insyaAllah kedokteran... (saya menunggu reaksinya ketawa, karena kebanyakan yang denger cita-cita saya pasti ketawa dan agak meremehkan)
Dia: terus pilihan kedua?
Saya: teknologi pangan, pertanian.
Dia: Wah, kok jauh banget ya. pilihan pertama aja kedokteran, kok pilihan keduanya malah pertanian sih?kenapa nggak ambil psikologi?
Saya: ya nggak apa-apa (padahal saat itu saya mau njawab 'yaelah, psikologi tu kalo di desa gak dihargai, dikeluarga saya aja psikologi dipandang sebelah mata').
Dia: oh, padahal sarjana pertanian itu lahankerjanya dikit lho.
Saya: wah, menurut saya sih enggak sih, kan semua orang butuh pangan. dan harus ada yang mengusahakan hasil pangan agar jadi lebih baik.
Dia: (ngangguk-ngangguk) iya juga sih. Nggak tertarik ke psikologi?
Saya: enggak gitu minat sih.
Dia: kenapa? padahal ilmunya menarik lho...
Saya: hah? iya to?
Dia: iya, saya lulusan fakultas psikologi.
(jedeeerr! untung aku belom keceplosan ngomong 'wah, psikologi?ilmunya nanggung, males ah, lagian juga kalo cari kerja harus di kota')
Saya: wah... terus?
Dia: ya sekarang saya kerja di perusahaan perkebunan, di bagian... (apaaaa gitu dia bilang, saya nggak gitu denger, tapi keknya di bagian yang nyangkut personaliti gitu deh.)
Saya: oh...
Dia: Kamu anak nomor berapa?
Saya: pertama (ni orang ngalihin topik pembicaraan cepet banget...)
Dia: Wah...
Saya: iya, jadi secara nggak sadar ya pengen jadi contoh yang baik buat adek-adek (adek saya ada dua ekor).
Dia: tergantung.
Saya: nggak tergantung, tapi menurut saya ya harus.
Dia: (sambil senyam senyum) ya nggak harus lah...
Saya: kalo menurut saya ya harus. kalo kakaknya sukses, sedikit banyak adeknya pasti mikir buat ngikutin jejak kakak.
Dia: ya nggak mesti juga.
Saya: (ketawa) terserah...
Dia: anak pertama itu biasanya sifatnya keras, kaku...
Saya: ehm, lumayan...
Dia: enggak, itu pasti.
Saya: nggak juga.
Dia: pasti, lha contohnya kamu ini.
(glodakk! baru inget kalo dia kan psikolog ya???)
Saya: yah, lumayan lah.
Dia: kenapa kamu pengen jadi dokter?
Saya: (sejujurnya saya ingin jawab 'biar cepet kaya' kayak yang selalu saya katakan, tapi kali ini, pada orang tak dikenal itu, saya pengen jujur). Saya pengen menolong orang.
Dia: apa?
Saya: ya, saya pengen bisa membantu menyembuhkan orang yang sakit.
Dia: kenapa nggak jadi dukun aja sekalian?
(ya ampun! Ini orang ngetes saya ya?
Saya: Hahahahah, perklenikan di jaman sekarang itu tidak ada.
Dia: eh, jangan salah lho! Coba kamu ke kalimantan, pacaran sama anak dayak, terus putusin, beberapa hari lagi lak kamu kena santet.
Saya: hahahaha, di keluarga saya, saya dididik nggak percaya sama hal begituan.
Dia: ya tapi kan gimanapun, hal macam itu ya nggak harus nggak dipercaya, kan tetep ada.
Saya: maaf ya, tapi di agama Islam... eh, maaph, sampean Muslim to?
Dia: bukan, maaf.
Saya: oh, maaf kalo gitu. Tapi emang di agama saya, hal kayak gitu emang ada, tapi ggak harus dipercaya, karena kalo kita percaya, sama aja ngikutin.
Dia: owh... jadi, kamu pengen jadi dokter biar bisa nolongin orang ya?
Saya: iya lah. Saya ya prihatin sama masalah kesehatan yang nggak imbang gitu.
Dia: maksudnya?
Saya: rumah saya di desa, dan di kecamatan saya aja, cuman ada 2 dokter umum. Sedang di Madiun, di sekitar kost saya, ada lebih dari 5 dokter spesialis. Kan itu nggak imbang banget1
Dia: menurut kamu, kenapa kok bisa kayak gitu?
Saya: Ya mungkin karena gengsi. Orang lebih milih kerja di kota daripada di desa.
Dia: itu faktor pertama, faktor kedua?
Saya: ehm... ya mungkin masalah finansial. Kan kalo di kota bayarannya mahal. Sekali periksa aja bisa seratus rebu lebih kan. Saya kagum sama dokter di desa saya, beliau sering dibayar pake pisang sama pasiennya. Ya karena saking miskinnya orang. Coba kalo semua dokter kayak beliau, lak nggak ada istilah 'kesehatan dan perawatan terbaik hanya dinikmati orang kaya'.
Dia: jagi, kamu mau masuk yang mana?
Saya: ya saya pengen jadi golongan kedua. Kata orang tua saya, lebih baik mengabdi di desa sendiri. mbangun desone dewe lah...
Dia: wah, pertahankan ya idealisme kamu itu.
Saya: iya. tapi sekarang aja, banyak temen yang ngejek kalo saya ngomong gitu, katanya saya terlalu idealis.
Dia: sekarang baru sma, coba kamu nanti udah terjun di masyarakat, yang ngomong dan ngeremehin kayak gitu, 9 dari 10 orang.
Saya: wah, susah dong.
Dia: ya jangan bilang gitu. kalo kamu bilang 'susah', entar susah beneran. berjuang itu cuman melelahkan. apalagi kalo sendirian.
Saya: ya makanya itu, saya pengen punya temen yang satu visi sama saya.biar bisa berjuang bersama.
Dia: kamu hebat lho, udah punya mimpi kayak gitu. Ya walaupun cuman mimpi, tapi itu satu langkah lebih maju. Hidup itu dibangun dari mimpi.
Saya: iya, saya juga nggak suka istilah 'hidup ngalir kayak air', entar bisa-bisa keseret arus, hehehehe.
Dia: hahaha, iya. makanya, harus berusaha buat ngeraih mimpi itu.
Saya: kalo mimpi doang tanpa usaha ya sama aja bohong dong ya...
Dia: iya lah... hehehehe..
(untuk beberapa saat, kami terdiam cukup lama)
Dia: ehm, nanti kalo kamu udah terjun ke masyarakat, jangan lupakan idealismemu itu ya.
Saya: insyaAllah.
Dia: saya seneng ngobrol sama kamu.
Saya: oh ya? terimakasih. saya juga.
Dia: (tersenyum)
Saya: wah, saya mau turun nih, duluan ya. Makasih. Permisi...
Dia: iya, sama-sama, silakan...
Lalu saya turun dari bis.
"

Demikian percakapan saya dengan orang asing yang bahkan saya nggak tau namanya itu.
Dan itu bukan rekaan atau karangan saya, saya benar-benar bertemu dengannya.
Jadi, saay saya turun dari bis, dan berjalan mencari bis kecil yang akan membawa saya ke desa saya, saya sempat berpikir,
orang itu sama sekali nggak bilang 'semoga sukses' atau apa, tapi saya lihat di matanya, bahwa dia memang mendukung saya dan mengharap saya bisa mencapai mimpi saya.
Jadi, sejak saat itu, saya benar-benar bertekad untuk meraih mimpi saya. Saya benar-benar berusaha untuk melupakan Musim yang selama ini membayangi saya (eh, yang benar, saya akan membuatnya berada di urutan kedua 'daftar hal yang paling saya inginkan').
Nantinya, ketika saya sudah berhasil mencapai mimpi saya, saya baru akan menyapanya dengan kebanggaan sendiri.
Semoga Tuhan mendengar doa saya... Amin.

1 komentar:

  1. Saya sangat menyukai tulisan anda ini, dan saya sebagai masyarakat biasa kan berdoa untuk kesuksesan anda. tak banyak orang yang mempunyai mimpi seperti anda. melihat dari tulisan, anda merupakan seseorang yang mempunyai pemikiran yang panjang. saat ini saja anda telah memiliki pemikiran seperti itu, pasti akan lebih bermanfaat untuk kedepannya.
    semoga sukses.

    BalasHapus